Saya kemarin kebetulan membaca sebuah artikel tentang Cinta Kasih dari sebuah blog by Godlief wesley. Sepertinya dia banyak mengambil dari tulisan Ravi Zaccharias "I, Issac take thee Rebecca" sebuah buku yang hampir saya beli beberapa minggu yang lalu. Sekarang saya duduk dalam penyesalan karena semua buku Ravi Zaccharias (dan juga John Piper dan Joshua Harris) telah ditarik dan tidak dijual lagi di toko buku terdekat rumah saya. Usut punya usut ternyata itu dikarenakan pergantian manajemen dan visi di Toko buku Metanoia maupun Toko buku Gloria. Sungguh saya sangat menyayangkan hal ini karena menurut saya buku -buku tersebut sangat bermutu. Saya hanya sempat membeli salah satu buku Ravi yang merupakan bagian dari percakapan seri yaitu antara Kristus dan Buddha. It was a good read. Anyway, let it be.
Kembali kepada topik pembicaraan diatas, faedah yang dapat saya petik dari bacaan saya adalah bahwa cinta membutuhkan komitmen dan adalah sebuah pilihan. Cinta yang didasarkan pada perasaaan semata merupakan fondasi yang lemah karena perasaan kita mudah berubah-ubah. Jikalau perasaan kita adalah satu-satunya titik tumpu dari hubungan kita maka cinta hanyalah istilah untuk perubahan perasaan kita dan kalau selanjutnya berubah lagi maka kita sudah tidak cinta lagi. Jika seperti ini maka pengharapan akan cinta sejati adalah pengharapan yang semu. Ini sangat menarik karena bagi perempuan adalah benar bahwa kita cenderung dikendalikan oleh perasaan daripada menggunakan pikiran (more intuitive). Terlalu mudah bagi kita untuk menjadi terobsesi akan seseorang padahal belum tentu orang itu adalah yang tepat bagi kita. Kita perlu belajar mengendalikan diri kita dan menilai situasi dengan akal sehat agar tidak hanyut oleh perasaan kita.
Yang membuat saya kagum adalah pernyataan kakak Ravi yang sampai pada hari pernikahannya baru melihat sang calon istri (dia dijodohkan). Dia mengatakan bahwa cinta tidak selalu berdasarkan perasaan dan kita bisa memilih untuk mencintai. Betapa beruntungnya istri Kakak Ravi. Demikian juga kisah cinta Ishak dan Ribka yang juga dijodohkan karena waktu itu Eliezer, hamba Abraham yang memilih Ribka. Dua contoh ini bukanlah dimaksudkan untuk menyarankan pernikahan melalui perjodohan melainkan bahwa kita dapat mengorbankan tuntutan kita dan memilih untuk mencintai pasangan kita apa adanya. Cinta yang berdasarkan pilihan ini merupakan cinta yang lebih stabil dan tak lekang waktu karena setiap celah didalam hubungan dua insan telah ditutup oleh cinta. Tapi cinta hanya karena pilihan saja itu tidak cukup rasanya, perasaan adalah seperti bumbu pelengkap.
Sebelum seseorang bisa berkomitmen adalah baik jika kedua orang tersebut mengenal satu sama lain dalam jangka waktu yang tidak pendek agar tidak terburu-buru (disarankan lama waktu pacaran minimal dua tahun sebelum memasuki jenjang pernikahan). Mengenal sesama akan mengokohkan cinta mereka karena mereka mempunyai alasan yang kuat untuk saling mencintai yaitu didasarkan pada pengetahuan akan sesama bukan cinta buta dan juga tersedianya kesempatan untuk saling menerima sesama apa adanya.
Selain dalam konteks percintaan antara anak manusia, menurut saya ini juga bisa diterapkan dalam hubungan kita dengan Tuhan. Pada saat-saat genting, ketika lebih mudah untuk menghujat dan meninggalkan Tuhan, kita bisa memilih untuk tetap percaya padaNya. Saya rasa Tuhan telah memberikan teladan kasih pada kita karena Dia bisa saja memilih untuk menghukum kita daripada anakNya. Tetapi, pilihanNya adalah mengasihi kita dan memberikan pengharapan dan masa depan pada kita. Sungguh mulia Allah kita yang memang adalah sumber kasih ini. Biarlah kuasa Roh Kudus menolong kita dalam usaha kita mengasihi Dia dan sesama.
No comments:
Post a Comment